
CERITA DIBALIK HARI JADI IKATAN PUSTAKAWAN INDONESIA (IPI) YANG KE- 49 : WAKAF BUKU KADIS DPKD PROV. KALTIM YANG KETIGA
Mentari mulai merayap di ufuk pagi, embun pun tak mau ketinggalan bergelayut pada dedaunan pohon Akasia yang berdiri kokoh menghiasi taman taman Kota Samarinda yang kulewati hari ini bahkan hari hari berlalu. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, bulan Juni baru saja berganti kebulan Juli. Seperti pagi ini mengawali sebuah cerita di hari Kamis 7 Juli 2022 adalah hari ulang tahun Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) yang ke – 49 dan merupakan hari jadi Ikatan Pustakawan Indonesia. Dalam kurun deret waktu 49 Tahun ini tentu sudah banyak kifrah yang telah dilakukan oleh para pustakawan kita dalam ikut serta mencerdaskan anak bangsa. Tema HUT IPI Tahun ini adalah Pustakawan Masa Lalu, Kini dan Nanti, mengandung makna bagaimana kemampuan pustakawan menggali sejarah yang ada sehingga pustakawan mampu meyakinkan seluruh elemen bangsa, sebagai eksistensi jati diri bangsa . Kawan, Sekalipun tidak ada ceremonial perayaan ultah IPI di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Kalimantan Timur, namun tidaklah mengurangi khidmatnya Hari Lahirmu IPI, Organisasi Profesi yang merupakan sebuah wadah untuk menaungi profesi pustakawan.
Hari ini Pak Safranuddin yang akrab kami sapa pak Ivan tak mau ketinggalan melewatkan momen bersejarah ini, beliau mewakafkan lagi buku milik pribadinya sebanyak 16 judul (16 Eksemplar). Kali Ini wakaf buku yang ke -3 beliau titipkan ke salah seorang tenaga Honorer di DPKD Provinsi Kaltim pak Sri yanto untuk diserahkan ke Seksi Deposit Dan Alih Media pada Dinas Perpustakaan dan kearsipan provinsi Kalimantan Timur. Dari 16 judul tersebut, terdapat 8 judul yang termasuk kategori koleksi konten lokal Kalimantan Timur antara lain :
- Disentralisasi pemberian izin pertambangan Batu bara dalam penyelenggaraan Otda di Kab. Kutim Prov.Kalimantan Timur : Disertasi (H.Isran Noor).
- Kerajaan Martapura dalam literasi Sejarah Kutai 400-1635 (Muhammad Syarif)
- Isran Noor : Indonesia Negara Maritim Terbesar di Asia (Suharsono).
- Derap langkah Pembangunan Kaltim 2008-2018 (Tim Biro Humas)
- Membangun Raksasa Tidur Kaltim.
- Kontroversi Sejarah Lamohang Daeng Mangkona dan Hari Jadi Kota Samarinda : Sebuah Tinjuan Kritis (Muhammad Syarif, Nabila Nandini)
- Laporan Program Beasiswa Kaltim Tuntas 2019
- Ekspose Hasil Pembangunan Kab. Kutim Tahun 2019 (Pemkab Kutim).
Adapun 8 buku lainnya itu masuk kategori koleksi umum yang akan dikelola Seksi Pengolahan dan Perawatan Bahan Perpustakaan.
Diantara 8 koleksi Konten Lokal milik pak Ivan yang judulnya Kerajaan Martapura Dalam Literasi Sejarah Kutai 400 – 1635 karya Muhammad Syarif, Berukuran 21 cm dengan tebal 147 halaman dan merupakan hasil karya penelitian sejarah. Ada hal yang cukup menarik pada buku tersebut yaitu penelaahan dari Prasasti Yupa dan ijasah Kitab Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kartanegara. Kelebihan dari tulisan ini adalah penggalian sejarah lokal dari literasi sejarah Kutai Tahun 400 – 1635 Masehi yang pada masa itu berhadapan dengan pengaruh Hindu yang berasal dari India.
Dinasti Aswawarman Putra Kudungga
Ada tujuh prasasti yang dibuat pada masa Raja Mulawarman. Prasasti pertama memuat silsilah raja yang diawali dari Maharaja Kundungga yang berputra bernama Aswawarman. Aswawarman memiliki tiga orang anak diantara ketiganya Raja Mulawarman yang terkemuka dan hanya beliau yang disebutkan pada prasasti Yupa, dua putra lainnya tidak disebutkan.
Asal Usul Kudungga
Para sejarawan menyimpulkan bahwa kundungga adalah orang Nusantara asli, bukan imigran dari India akan tetapi generasi awal Nusantara yang telah berasimilasi dengan budaya India. Setelah Kundungga ditetapkan sebagai orang asli Kalimantan kemudian muncul pendapat yang controversial yaitu nama Kundungga diklaim mirip nama orang Bugis, Kadungga. Pendapat tersebut disebutkan dalam buku sejarah Nasional Indonesia. Kundungga hidup pada masa abad ke-4 sedangkan Kadungga eksis pada masa kini atau abad 20. Perbandingan kemiripan berbeda zamannya dan berjarak ribuan tahun. Ini merupakan asumsi yang tidak relevan, komparasinya tidak tepat karena perbedaan periode yang terlampau jauh.
Antara Kudungga dan Kundungga
Masih ingat dalam benak saya atau teman teman lainnya aktor sejarah kerajaan tertua di nusantara yang bernama Kudungga selalu disebut sebut dalam mata pelajaran Sejarah , ketika itu saya masih duduk dibangku Sekolah Dasar. Riwayat tiga generasi raja yang dimulai dari Raja Kudungga, Aswarwarman sampai Raja Mulawarman. Ketiga nama raja tersebut sudah hapal dan tertanam dibenak anak anak sekolah.
Seberapa pentingkah sebenarnya pembahasan nama Kudungga dan Kundungga ? menurut saya hal ini penting. Ketika saat ini ada orang yang menulis Kundungga, mungkin banyak orang yang menyangka penulisan nama tersebut salah ketik atau salah tulis padahal pandangan ini tidak terlepas dari penulisan Kudungga yang terlanjur massif dan dianggap kebenaran yang mutlak.
Misalnya Nama RSUD Kudungga sebuah rumah sakit di Kabupaten Kutai Timur, atau nama pelabuhan dan kapal yang menangani keamanan pesisir Sangatta di Kutai Timur. Masih banyak contoh lain betapa populernya nama Kudungga di kalangan kita. Pada tahun 1879 empat tiang batu ditemukan di Muara Kaman. Pada tiap batu ditemukan tulisan kuno. Kalangan juru tulis Kesultanan Kutai Kartanegarapun tidak bisa membaca teks di monumen itu. Seorang Profesor berkebangsaan Belanda bernama John Hendrik Caspar Kern meneliti salinan tulisan yang dikirim kepadanya. Ternyata huruf yang ditulis dibatu andesit adalah huruf Pallawa, bahasa yang digunakan bahasa Sansakerta pada abad ke -5 nama batu bertulis itu adalah Yupa. Kalimat di prasasti Yupa pertama baris ke satu dan kedua berbunyi “Crimatah Cri-narendrasya, kundungasya mahatmanah “.
Awalnya Kern membuat alih aksara kundungasya dengan kundangasya, pakar lainnya bernama Jean Philippe Vogel pada tahun 1918 mengoreksi tranliterasi tersebut. Vogel ditugaskan langsung oleh Kern untuk mengkaji Yupa lebih dalam. Hasil kajian Vogel termuat dalam makalah berjudul “ The Yupa Inscription of King Mulawarman .“ baik Kern maupun Vogel tidak berbeda menyebut suku kata Kun dan bukan Ku.
Vogel menerjemahkan kalimat tersebut sebagai illustrious lord-of-men, the Great Kundungga. Seorang ahli Sejarah dan Sastra Melayu Constantinus Alting Mees pada bagian awal bukunya menyadur riset Kern tentang prasasti Yupa. Kutipan dari buku Mees jelas menuliskan Kundungga. Akhirnya penulisan Kundungga konsisten dipakai dalam karya-karya ilmiah selanjutnya dikemudian hari baik oleh penulis asing maupun penulis Indonesia seperti pada Buletin Kundungga terbitan Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur yang ada di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Prov. Kalimantan Timur.
Inilah sedikit cuplikan deskripsi salah satu buku milik pak Ivan yang telah diwakafkan beliau untuk Dinas Perpustakaan dan Kearsipan provinsi Kalimantan Timur dimomen hari jadi Ikatan Pustakawan Indonesia ke – 49.
Buku ini sangat cocok dibaca oleh kalangan pelajar, mahasiswa, dan para peneliti atau para pemerhati sejarah.
Terima kasih untuk wakaf ini pak Ivan. Pasti bermanfaat bagi para pegiat literasi khususnya dan masyarakat Kaltim pada umumnya lebih dari itu yang pasti berkontribusi dalam sejarah Nasional Kita.
(Masitah/Andri)